Senin, 12 Januari 2009

MENDORONG KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK


UPAYA affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik akan kembali diuji pada Pemilu 2009. Beberapa peraturan perundang-undangan pun telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya.

Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.

Pasal 8 butir d UU Nomor 10/2008, misalnya, menyebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal 53 UU Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.

Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008 juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak harian dan elektronik nasional. Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpol disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, di Pasal 20 tentang kepengurusan parpol disebutkan juga tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30%.

Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%).

Dengan demikian, meskipun telah ada peraturan perundangan yang memandatkan kuota 30% dalam parlemen, itu tidak serta-merta menjamin peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik. Selain itu, dalam kenyataannya pun, pemenuhan kuota tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Meskipun ketentuan yang ada sifatnya mensyaratkan, itu hanya disertai sanksi moral dan bukan sanksi yang tegas yang dapat mendesak pemenuhan kuota itu.

Dalam Pasal 57 dan Pasal 58 UU Pemilu Legislatif, misalnya, tentang verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon, tindak lanjut jika kuota keterwakilan perempuan terpenuhi hanya disebutkan bahwa KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota akan memberikan kesempatan pada parpol untuk memperbaiki daftar calon tersebut dan memberikan alasan tertulis.

Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta lingkungan, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian.

Argumen tersebut tidak hanya ideal sebagai wujud modal dasar kepemimpinan dan pengalaman organisasi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, argumen tersebut juga menunjukkan perempuan dekat dengan isu-isu kebijakan publik dan relevan untuk memiliki keterwakilan dalam jumlah yang signifikan dalam memperjuangkan isu-isu kebijakan publik dalam proses kebijakan, terutama di lembaga perwakilan rakyat.



Merit system

Sayangnya, liberalisasi politik yang terjadi sejak era reformasi tidak otomatis diikuti kesiapan lembaga pendidikan dan rekrutmen politik, terutama parpol, untuk secara serius dan berkelanjutan untuk membuka kesempatan partisipasi perempuan dalam politik, terutama menempatkan perempuan dalam posisi dan tanggung jawab organisatoris yang signifikan, selain mempersiapkan dan menempatkan perempuan sebagai caleg yang andal dengan kesempatan yang setara dengan caleg laki-laki.

Selain itu, perempuan ditantang untuk mendobrak lobi-lobi politisi laki-laki yang elitis, misalnya dalam pencalonan dan penentuan nomor urut, terlepas dari pertimbangan dan keputusan akan suara terbanyak dalam pemilu mendatang. Belum lagi, budaya politik parpol yang masih cenderung sentralistis dan patriarkat yang membuat caleg perempuan tidak ditempatkan di nomor jadi dan dinominasikan hanya sebagai formalitas tanpa kematangan mekanisme pendidikan dan rekrutmen politik yang memadai demi memenuhi kuota 30% yang diamanatkan undang-undang.

Upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik, terutama pemenuhan kuota 30% yang dimandatkan undang-undang dan akan lebih baik jika lebih dari porsi tersebut dalam persaingan terbuka yang berdasarkan merit system membutuhkan lebih dari kesiapan kelembagaan parpol dan perubahan pola pikir dan budaya politik jajarannya (terutama elite parpol), penerapan langkah strategis untuk menempatkan perempuan dalam nomor jadi maupun dengan zipper principle (seperti yang diterapkan Partai Sosial Demokratik di Swedia) yang tentunya diimbangi kapasitas dan dukungan basis massanya, serta meningkatkan pelatihan dan pendidikan politik bagi pemilih maupun caleg perempuan, baik dari kader maupun simpatisan untuk membiasakan perempuan dalam ritme politik.

Selain itu, peran parpol sebagai salah satu pilar demokrasi yang memiliki fungsi pendidikan dan rekrutmen serta sosialisasi politik harus terus ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar berpolitik praktis dengan memberikan tanggung jawab di posisi-posisi yang strategis (tidak hanya administrasi dan keuangan, meskipun juga merupakan bagian dari keandalan perempuan), tapi juga dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar perempuan memiliki kesempatan yang sama dan kontribusi yang signifikan seperti halnya laki-laki.

Yang tidak kalah penting adalah penerapan hukum yang konsisten dengan sanksi yang tegas bilamana parpol tidak dapat memenuhi keterwakilan kuota perempuan dalam politik, baik di parpol itu sendiri maupun di lembaga perwakilan rakyat. Hal itu pun juga diterapkan Prancis lewat parity law (1999) dengan penalti keuangan, maupun Argentina dengan ley de cupos (1991) dengan penalti penolakan keikutsertaan parpol dalam pemilu.

Akhirnya, selama anggota legislatif masih berasal dari parpol, keterwakilan perempuan dalam politik akan kembali kepada kesungguhan dan political good will dari parpol dan segenap jajaran elitenya. Pesan lain yang perlu digariskan, berapa pun persentase keterwakilan perempuan dalam politik juga harus didasari pertimbangan rasional dan strategis, seperti kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, dan pengalaman yang relevan, dan visi serta misi yang sejalan dengan parpol. Tantangan yang berat, tapi bukan tidak mungkin untuk diwujudkan.

Oleh Adinda Tenriangke Muchtar, Analis Politik The Indonesian Institute
Media Indonesia - Rabu, 03 September 2008

MENINGKATKAN WAKIL PEREMPUAN DI LEGISLATIF


satuwanita.com - Peran perempuan dalam pembangunan memang sudah terlihat dampaknya. Bahwa aspirasi wanita dalam bidang sosial politik telah mendapat tempat walau belum semua aspek terwakili. Dari data dan fakta di lapangan jelas terlihat bahwa suara perempuan memang tidak sebanding dengan jumlah keberadaan mereka.

Menyadari akan kenyataan itu maka sekitar 85 aktivis politik yang terdiri dari anggota DPR, perwakilan partai-partai politik, perwakilan dari Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, organisasi non pemerintah, serikat buruh, media dan akademisi berkumpul dalam Lokakarya Perempuan dan Politik yang diselenggarakan Senin (23/4) silam di Gedung LIPI Jakarta.

Mereka bersepakat untuk meningkatkan jumlah wakil perempuan di lembaga legislatif, DPR RI, DPRD I, DPRD II dan di dalam partai-partai politik. Menurut Dinna Wisnu dari NDI Indonesia, acara ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai jalan yang dapat diambil aktivis-aktivis politik, baik perempuan maupun laki-laki, dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan jender dalam partisipasi dan keterwakilan politik.

Acara diawali dengan sesi berbagi pengalaman tentang Campaign 50Š-5‰ Asia Pacific yang diselenggarakan tanggal 21-22 Maret 2001 di Manila, Filipina. Empat organisasi Indonesia yang hadir dalam kampanye ini dan menjadi penyelenggara Lokakarya Perempuan dan Politik, CETRO (Centre for Electoral Reform), Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi serta Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik.

Mereka mengangkat intisari dari pertemuan di Manila sambil mengungkapkan komitmen organisasi masing-masing untuk mendukung kampanye tersebut. Ada empat bidang yang disoroti secara khusus. Yaitu Reformasi Perundang-undangan Politik, Partai Politik dan Lembaga Legislatif yang Berkesetaraan dan Berkeadilan Jender, Membangun dan Menggerakkan critical mass serta Membangun dan mengefektifkan jaringan kerja antara ornop, pemerintah, partai politik dan lembaga donor.

Kampanye 5Š-5‰ Asia Pasifik ini merupakan bagian dari kampanye global yang menuntut peran serta pemerintah untuk menetapkan target minimum 30 persen untuk keterwakilan perempuan dalam kabinet dan lembaga-lembaga perwakilan, termasuk pada tingkat daerah, sampai tahun 2003 dan keterwakilan yang berimbang sampai tahun 2005. Gerakan ini bertujuan meningkatkan kedudukan perempuan di seluruh dunia karena selama ini mereka kurang terwakili dalam tingkatan yang tinggi dalam posisi pengambilan keputusan. Saat ini, rata-rata perempuan di dunia hanya menduduki 13 persen dari kursi di parlemen nasional dan jumlah ini meningkat hanya 0,5 persen per tahun.

Kesetaraan dan keadilan jender diyakini dapat dicapai melalui reformasi di dalam partai-partai politik. Peserta, di antaranya, menuntut agar partai politik memperbaiki AD/ART partai, sistem pencalonan anggota legislatif serta pemilihan pengurus partai agar menjamin peningkatan keterwakilan perempuan. Penetapan quota dipilih sebagai tindakan khusus sementara yang perlu dilakukan segera.

Meskipun belum ada kesepakatan tentang berapa persen quota yang diinginkan, ada kesamaan pendapat bahwa ketentuan quota harus secara jelas menyebutkan angka persentase yang dituntut dan quota tersebut harus ditetapkan tidak hanya untuk perempuan tetapi juga untuk laki-laki, sisanya barulah diperebutkan.

Ide kuota 30-30 bagi perempuan dan laki-laki sementara 40 persen sisanya diperebutkan merupakan ide yang cukup populer. Pihak Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan kebetulan juga menetapkan kebijakan quota 30 persen sebagai tindakan khusus sementara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik.

Sedangkan Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), organisasi yang mewadahi aktivis perempuan dari berbagai partai politik (namun tidak mewakili partai karena masing-masing telah melepas ebajuf kepartaiannya) dan berjuang untuk meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik, setuju untuk melobi partai-partai politik tentang agenda tersebut. Saat ini keanggotaan KPPI mencapai 200 orang dari 17 partai politik.

Isu pemilihan sistem pemilu yang tepat juga menjadi topik yang hangat dibicarakan dalam lokakarya ini. Bila ada sistem pemilu yang menunjang, partai-partai politik pun akan terdorong untuk menghasilkan peraturan dan kebijakan yang sesuai. Sistem Pemilu proporsional murni atau sistem campuran adalah dua sistem pemilu yang dianggap mampu meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik. Sepanjang bulan Mei hingga Juli 2001, organisasi non pemerintah yang hadir dalam lokakarya ini sepakat untuk terus menyuarakan perlunya sistem pemilu yang ramah jender.

Pendidikan dan pelatihan tentang pentingnya partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik bagi perempuan dan laki-laki juga merupakan agenda lain yang dianggap perlu untuk dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan di atas. Diharapkan organisasi-organisasi non pemerintah perlu secara terus menerus membantu meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu kesetaraan dan keadilan jender ini, baik melalui media massa, seminar, dialog publik maupun pertemuan-pertemuan internal.

Acara yang terselenggara berkat kerjasama dengan National Democratic Institute (NDI) dan The Asia Foundation ini telah membantu pengukuhan komitmen para aktivis politik sekaligus membantu mengidentifikasi langkah baru yang konkrit untuk meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik.

PEREMPUAN DAN POLITIK DALAM BISNIS


oleh: Binsar Antoni Hutabarat

Panti pijat umumnya dekat dengan kehidupan laki-laki, dan untuk menyenangkan pengunjung yang umumnya laki-laki itu, pengusaha panti pijat pun mempekerjakan perempuan pemijat, asalkan tak ada bisnis maksiat di dalamnya itu sah-sah saja. Tapi, ketika panti pijat kemudian dituding sebagai tempat prostitusi, mengapa perempuan yang justru dipersalahkan, bukan laki-laki atau pengusaha yang rakus harta yang mempekerjakannya?

Klaim perempuan sebagai biang keladi hadirnya bisnis prostitusi terbaca jelas dalam himbauan agar perempuan pemijat di kota Batu, Malang menggembok celananya. Bahkan, Wakil Bupati Malang, Rendra Kresna mengatakan, meski himbauan itu tidak akan diatur dalam peraturan daerah (perda), itu akan diatur di SK Bupati atau peraturan Bupati.

Terindikasi bahwa ada sekelompok orang yang kini memaknai bahwa tubuh perempuan memiliki anasir jahat, karena itu mesti ditertibkan, dan menggembok celana perempuan pemijat dianggap solusi untuk mengenyahkan transaksi seksual dipanti pijat. Tubuh perempuan di diklaim menjadi pintu masuk bisnis esek-esek. Repotnya, klaim tubuh perempuan sebagai pintu gerbang dosa seksual itu kini bermunculan di seantero negeri ini dalam berbagai penampakan yang berbeda, seperti larangan perempuan keluar malam di Tangerang misalnya, demikian juga dalam perda AIDS di Manokwari, Papua dimana lagi-lagi perempuan dianggap salah satu sumber penyebarannya, karena itu perempuan dilarang lalu lalang setelah jam dua belas malam.

Logika apakah sesungguhnya yang mendasari klaim bahwa tubuh perempuan perlu ditertibkan untuk menghindari terjadinya dosa seksual? Laki-laki lahir dari perempuan. Jika kita mengacu pada asal mula manusia yang adalah ciptaan, jelaslah sebagai ciptaan perempuan dan laki-laki memiliki kesederajatan. Dan kesederajatan itu seharusnya menjadi dasar bagi tak absahnya laki-laki memaknai perempuan sekehendak hatinya. Kalau tak ada warta dari Pencipta, maka perempuan memiliki hak untuk menjelaskan siapa dirinya, bukan laki-laki yang menjelaskan tentang perempuan.

Mengacu pada cerita Adam dan Hawa, timbul anggapan, karena Hawa yang lebih dulu jatuh ke dalam dosa sebelum Adam, dan kemudian, Hawa di klaim Adam sebagai penyebab keberdosaannya, kemudian klaim Adam itu dijadikan dasar pembenaran bahwa perempuan lah yang membuat laki-laki berdosa, dan karena itu demi menghindari laki-laki berbuat dosa, tubuh perempuan mesti ditertibkan. Tapi, sesungguhnya klaim Adam itu tak absah, demikian juga klaim laki-laki yang mengikuti Adam. Tak ada petunjuk bahwa hukuman yang diterima oleh Adam yang menganggap diri memiliki kesalahan lebih kecil kemudian menerima hukuman yang lebih ringan. Lagi pula, tak ada laki-laki selain Adam yang tidak dilahirkan oleh perempuan, dan laki-laki yang lahir dari perut perempuan sesungguhnya amatlah naïf jika menyebut dirinya lebih suci dari perempuan, apalagi mengklaim perempuan sebagai penggodanya.

Dalam urusan kejahatan, termasuk prostitusi, di sana terlihat laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki pilihan, siapa yang memilih melakukan pelanggaran itulah yang dihukum. Secara penafisran terbatas, hukum mata ganti mata adalah tepat, siapa yang berbuat jahat dia layak mendapat balasan yang setimpal, sebaliknya mereka yang tidak bersalah tak layak mendapatkan hukuman. Perempuan pemijat bekerja untuk mencari nafkah, itu tak melanggar hukum, tetapi pemilik panti pijat yang mempekerjakan WTS lah yang salah, apalagi dengan sengaja memberikan iklim yang kondusif bagi laki-laki hidung belang memuaskan nafsu kotornya.

Pemasangan gembok pada celana perempuan pemijat jelas mengindikasikan adanya klaim sepihak bahwa tubuh perempuan menjadi sumber dosa prostitusi, setidaknya itulah yang terjadi di Batu, Malang. Tetapi, tentulah tak ada seorang pun laki-laki yang mencintai ibunya yang melahirkannya tega melihat perempuan yang sama dengan ibunya direndahkan sedemikian rupa.

Politik bisnis bagi yang pernah ke Batu, Malang pasti mengerti, sebagai kota pariwisata, yang terkenal dengan keindahan panorama alamnya dengan udaranya yang sejuk. Kota Batu Malang tak pernah sepi dengan turis domestik maupun manca negara. Turis yang lelah berjalan-jalan menikmati indahnya alam Batu tentu memerlukan tempat beristirahat dan panti pijat. Itulah sebabnya bisnis hotel dan panti pijat tumbuh dengan subur di kota itu.

Sayangnya kemudian panti pijat diidentikkan dengan tempat mesum, ada bisnis maksiat yang terselubung di dalamnya, meski tidak pada semua panti pijat, dan panti pijat pun terancam ditutup. Desakan penutupan itu juga muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Malang, Jawa Timur. Berdasarkan hal diatas dapat dipahami, munculnya ide penggebokan celana perempuan pemijat adalah demi meyakinkan khalayak bahwa panti pijat bebas dari praktik prostitusi, karena itu panti pijat tak layak untuk ditutup.

Tampaklah, logika bisnis yang selalu mencari segala macam cara untuk tetap dapat memenuhi pundi-pundi pebisnis dalam hal ini telah memakan korban, yaitu perempuan pemijat. Pelanggaran HAM merendahkan tubuh perempuan, dengan menganggapnya sebagai sumber dosa seksual adalah pelanggaran HAM, karena telah mendiskriminasikan tubuh perempuan. Padahal, perempuan dan laki-laki sesungguhnya memiliki martabat yang sama.

Kita tentu perihatin dengan klaim-klaim yang telah merendahkan perempuan yang kini merebak di tanah air ini. Memang, memberikan makna terhadap sesuatu bukan hal yang gampang, meski punya kuasa itu tidak cukup. Dan usaha memaksakan pandangan yang merendahkan perempuan oleh laki-laki, sebenarnya bukanlah menunjukan superioritas laki-laki, sebaliknya telah merendahkan laki-laki. Karena laki-laki yang telah memperlakukan perempuan dengan tidak sesuai dengan martabatnya, sama saja menghina martabatnya sendiri.

Mudah-mudahan, perempuan yang di negeri ini sering kali diidentikkan dengan mahkluk yang lemah, mendapatkan kembali hak-haknya sesuai dengan martabatnya, dan itu juga mesti menjadi perjuangan laki-laki, karena tak seorang laki-laki pun yang tak pernah menerima jasa perempuan, setidaknya pernah lahir dari rahim seorang perempuan.